Minggu, 22 November 2015

Status Kewarganegaraan saat Melakukan Pernikahan Campuran dan Akibat Perceraiannya


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Seiring perkembangan teknologi dan era globalisasi, negara-negara mengalami perkembangan di berbagai bidang seperti bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, militer, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi salah satunya adalah negara Indonesia. Kebebasan seseorang untuk pergi ke berbagi negara Indonesia juga mudah dilakukan menggunakan transportasi seperti pesawat dan kapal laut dengan syarat-syarat yang berlaku, sehingga dengan adanya hal tersebut menyebabkan banyaknya warga negara asing dapat menetap di Indonesia dan begitu pula sebaliknya. Setiap warga asing yang menetap juga dapat belajar lebih di bidang pendidikan dan budaya Indonesia dan warga asing memiliki kebebasan untuk mendapatkan kehidupan baru di Indonesia seperti berkenalan, berteman dengan warga Indonesia karena hal tersebut dapat menimbulkan suatu hubungan emosional dan tumbuhlan benih cinta dan kasih sayang diantara mereka sehingga timbul suatu keinginan untuk meneruskan hubungan sampai jenjang pernikahan. Setiap orang yang hidup di dunia ini mempunyai hak untuk perkawinan, membentuk rumah tangga ang bahagia dan melanjutkan keturunan baik di dalam negara maupun di luar negara. Karena manusia diciptakan oleh ALLAH Yang Maha Esa diberikan kebebasan dalam memilih kehidupan salah satunya adalah untuk mengenal satu sama lain yang tidak membedakan suku, agama, budaya dan ras.




2.      Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan masalah-masalah yang akan dibahas pada makalah ini. Berikut adalah perumusan masalah yang terdapat pada makalah antara lain :
a.       Pengertian Warga Negara
b.      Pengertian Kewarganegaraan
c.       Pengertian Perkawinan Campuran
d.      Status kewarganegaraan jika menikah dengan warga asing di luar negara
e.       Status kewarganegaraan jika bercerai dengan warga asing di luar negara
f.       Status kewarganegaraan anak dan berada pada ayah atau ibu

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Warga Negara
Warga Negara adalah orang-orang yang secara resmi ikut menjadi bagian dari penduduk yang dimana mereka menjadi salah satu unsur negara.
Warga Negara ini merupakan salah satu unsur pokok suatu negara yang dimana masing-masing warga negara memiliki suatu hak dan kewajiban yang tentu perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya, negara juga memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada setiap warga negaranya.
Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 mengatur mengenai Warga Negara :
a.       Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Yang dimaksud "orang-orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri."
b.      Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
c.       Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.

2.      Pengertian Kewarganegaraan
Pengertian Kewarganegaraan dalam arti yuridis (hukum) ditandai dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang dengan negara. Dengan adanya ikatan hukum itu menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, dimana orang tersebut berada di bawah kekuasaan negara yang bersangkutan. Contoh dari ikatan hukum : surat pernyataan, bukti kewarganegaraan, akta kelahiran dan lain-lain.
Pengertian Kewarganegaraan dalam arti sosiologis (sosial) tidak ditandai dengan ikatan yuridis (hukum), tetapi ikatan emosional, seperti ikatan keturunan, ikatan perasaan, ikatan nasib, ikatan tanah air dan ikatan sejarah. Dalam hal ini, ikatan lahir dari penghayatan warga negara yang bersangkutan.
Dari sudut padang kewarganegaraan sosiologis (sosial), seseorang dapat dipandang negara sebagai warga negaranya sebab penghayatan hidup, ikatan emosional dan juga tingkah laku yang dilakukan menunjukkan bahwa orang tersebut sudah seharusnya menjadi anggota negara itu. Namun dari sudut pandang hukum orang tersebut tidak memiliki bukti ikatan hukum dengan negara.
   
3.      Pengertian Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran yang diatur dalam UU No. I/1974 berbeda dengan perkawinan campuran yang terdapat dalam S. 1898/158. Menurut Pasal 57 UU No. I/1974 pengertian perkawinan campuran adalah:
“Perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hokum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia” Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:
a.       Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
b.      Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hokum yang berlainan
c.       Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan
d.      Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.

4.      Status Kewarganegaraan Jika Menikah Dengan Warga Asing di Luar Negara
Menurut Pasal 58 UUP bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kita perlu merujuk pada ketentuan Undang-Undang kewarganegaraan RI yang berlaku saat ini yaitu UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (“UU Kewarganegaraan”). Mengenai status kewarganegaraan dalam perkawinan campuran, hal tersebut diatur di dalam Pasal 26 UU Kewarganegaraan, yang berbunyi:
1)      Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
2)      Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
3)      Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
4)      Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.

Jadi, jika kita melihat ketentuan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) UU Kewarganegaraan, dapat diketahui bahwa apabila hukum negara asal si istri memberikan kewarganegaraan kepada pasangannya akibat perkawinan campuran, maka suami yang WNI dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia, kecuali jika dia mengajukan pernyataan untuk tetap menjadi WNI.

Kemudian, Anda juga menanyakan mengenai status kewarganegaraan si istri yang WNA jika pasangan perkawinan campuran tersebut menetap di Indonesia. Di dalam ketentuan UU Kewarganegaraan, tidak ditentukan bahwa seorang WNA yang kawin dengan WNI maka secara otomatis menjadi WNI, termasuk jika menetap di Indonesia. Hal yang perlu diperhatikan oleh si WNA selama tinggal di Indonesia adalah harus memiliki izin tinggal..

Jika si WNA telah menetap tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun berturut-turut, barulah dia memenuhi syarat mengajukan diri untuk menjadi WNI jika ia menghendaki (lihat Pasal 9 huruf b UU Kewarganegaraan).

5.      Status Kewarganegaraan Jika Bercerai Dengan Warga Asing di Luar Negara

Perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku (Erna, 1999). Atau dengan kata lain  perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri. Mereka yang melakukan perkawinan campuran sesuai dengan pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 apabila hendak melakukan perceraian maka tunduk pada UU No. 1 tahun 1974 dan PP  No. 9 tahun 1975 untuk pengadilan negeri (bagi yang non muslim), dan ditambah dengan kompilasi hukum islam serta UU No. 7 tahun 1989 jo. UU No. 3 tahun 2006 tentang  peradilan agama bila perkara diajukan melalui pengadilan agama (bagi yang muslim). Alasan-alasan perceraian diatur dalam pasal 19 PP No. 9 tahun 1975. 
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lainsebagainya yang sulit disembuhkan. 
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yanglebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapatmenjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f.       Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dari hal-hal diatas putusnya perkawinan campuran karena perceraian tersebut akanmembawa suatu konsekuensi hukum, salah satunya adalah mengenai status anak dari perkawinan campuran tersebut.
Maka ditentukan dalam pasal 58, bahwa orang yang melakukan perkawinan campuran itu, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undangKewarganegaraan Republik Indonesia yang telah berlaku.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab Perceraian Yang Dilakukan Diluar Negeri (Antar Sesama WNI), semua akibat hukum yang terjadi tetaplah sama: surat keterangan (akta) cerai yang dikeluarkan oleh negara tempat mereka bercerai dianggap tidak sah, dan mereka harus melakukan cerai ulang di Pengadilan yang mempunyai kompetensi untuk menyidangkan perkara perceraian mereka.
Masalah yang muncul adalah: Apakah WNA yang menikah dengan WNI tersebut juga tunduk terhadap aturan-aturan aquo atau tunduk terhadap hukum dimana mereka melangsungkan pernikahan atau negara dimana mereka melakukan perceraian?
Untuk masalah ini, ada beberapa aturan hukum yang dapat dipegang:
1.      Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974: Yang dimaksud dengan kawin campuran dalam UU ini adalah perkawinan dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganearaan dan salah satu WNI.
2.      Pasal 58 UU No. 1 Tahun 1974: Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istri dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya.
3.      Pasal 19 UU No. 12 tahun 2006:
a.       (ayat 1): WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh kewargargaraan RI dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara dihadapan pejabat
b.      (ayat 2): Pernyataan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di RI paling singkat 5 tahun berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
c.       (ayat 3): Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh kewarganegaraan RI yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda. kewarganegaran ganda sebagaimana dimaksud ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan perundang-undangan.
Berdasarkan aturan tersebut diatas, maka seorang WNA yang menikah dengan WNI bisa merubah status kewarganegaraannya menjadi WNI, tapi akibat hukum perceraian di luar negeri yang sedang kita bahas ini adalah lain hal. Mengacu kepada Pasal 66 ayat (4) dan Pasal 73 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, maka perceraian harus dilakukan di Indonesia karena perkawinan mereka dilakukan di Indonesia. Jika dianalogikan dengan hukum perdata umum, apabila terjadi suatu perikatan yang dibuat oleh dua orang yang berbeda kewarganegaraannya, maka hukum yang dipakai adalah hukum dimana perikatan itu dibuat atau di negara mana mereka saling sepakati untuk menyelesaikan.
6.      Status Kewarganegaraan Anak dan Akibat Perceraian Anak Berada pada Tangan Ayah atau Ibu

Anak yang lahir dari orang tua yang melakukan perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk  pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama yaitu UU No. 62 tahun 1958 bahwa anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun  berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru yaitu UU No. 12 tahun 2006 bahwa anak akan memiliki dua kewarganegaraan, dalam artian bisa mengikuti kewarganegaraan bapak atau ibunya.
Anak yang lahir dari orang tua yang melakukan perkawinan campuran, dengan  perkawinan yang sah sama-sama diakui sebagai warga negara indonesia. Sebelum berusia 18 maka ia mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun apabila setelah berusia 18 tahun maka anak berhak menentukan sendiri kewarganegaraannya. Pada pasal 1b UU No 62 tahun 1958 menyatakan WNI adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya seorang WNI, dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum anak itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin dibawah 18 tahun. Hal ini berarti Indonesia berdasarkan UU tersebut menganut asas ius sanguinis (keturunan), sehingga bila terjadi perkawinan antara WNI dengan WNA, maka anak-anaknya mengikuti kewarganegaraan ayahnya.
Adapun Asas-asas dalam menentukan kewarganegaraan yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 ini sebagai berikut :
1.      asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran \
2.      asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang
3.      asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan  bagi setiap orang
4.      asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.

Disini apabila terjadi perceraian terhadap orang tua yang melakukan perkawinancampuran, maka masalah terhadap pengurusan terhadap anak menjadi masalah. Dalam pasa l41 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menegaskan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu :
1.      baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan.
2.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yangdiperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhikewaijban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Berdasarkan kedua ketentuan diatas, dapat terlihat meskipun masing-masing pihaktelah bercerai namun tanggung jawab dalam hal pengasuhan anak berada pada kedua pihak,sedangkan pembiayaan bekas suamilah yang paling bertanggung jawab, sehingga dengantanggung jawab inilah masa depan anak dapat terjamin, karena segala sesuatunya yangterpenting adalah kepentingan terbaik si anak.

BAB III
PENUTUP

1.       Kesimpulan
          Perkawinan campuran adalah perkawinan antara pearkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraannya, yang satu berkewarganegaraan Indonesia dan yang satu berkewarganegaraan asing. Perbedaan disini dibatasi pada perbedaan kewarganegaraan bukan pada perbedaan agama.
          Sedangkan mengenai syarat-syarat perkawinan campuran sudah diatur dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Diantaranya ialah kelengkapan surat-surat baik dari negara Indonesia ataupun negara asal dari orang asing yang akan menikah tersebut. Seperti surat-surat yang menjadi syarat perkawinan di Indonesia dan yang menjadi syarat di negara asing tempat dia berdiam atau sebagai warga negara disana.
          Dan mengenai status anak dari perkawinan campuran ini pun sudah diatur secara jelas dalam UU nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam UU ini, memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak hasil dari perkawinan campuran hingga dia berusia delapan belas tahun. Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) yang menentukan bahwa anak tersebut bisa mengikuti kewarganegaraan ayahnya atau ibunya sebelum ia berusia delapan belas tahun atau sudah menikah. Dan setelah ia berusia delapan belas tahun atau sudah menikah maka ia harus menentukan sendiri mengenai status kewarganegaraannya sendiri.
         


Daftar Pustaka
http://www.habibullahurl.com/2015/02/pengertian-warga-negara-teori-status-warga-negara.html
http://www.pengertianpakar.com/2014/11/pengertian-warga-negara-dan-pengertian.html
http://ilmuhukumsemester2.blogspot.co.id/2015/01/akibat-perkawinan-campuran-dan.html
https://www.academia.edu/9511752/Kedudukan_anak_akibat_perceraian_perkawinan_campuran
http://blogperadilan.blogspot.co.id/2015/04/beberapa-permasalahan-perkawinan.html
http://noaksianturi.blogspot.co.id/2012/11/perkawinan-campuran.html



0 komentar:

Posting Komentar